Saat Anda mendekati bar penyajian makanan kami, Anda akan melihat tiga helai (juga dikenal sebagai sempe) yang dipajang dengan menonjol. Piring tanah liat tradisional ini dulunya sering digunakan oleh masyarakat Sentani untuk menyajikan fi naunge, atau papeda panas—makanan pokok yang terbuat dari bubur sagu dan sangat dicintai.

Helai atau sempe dibuat dari tanah liat, dan versi yang lebih tua—yang diwariskan dari generasi ke generasi—jauh lebih kuat dan tahan lama dibandingkan yang dibuat di Jayapura saat ini. Karena itu, piring tanah liat tradisional ini menjadi langka dan sangat dihargai dalam budaya Sentani. Mereka tidak hanya digunakan untuk menyajikan makanan, tetapi juga untuk menghormati kearifan nenek moyang, yang memahami hubungan mendalam antara makanan dan komunitas.

Setiap helai, ketika diisi dengan papeda panas, menceritakan sebuah kisah—kisah tentang keluarga, tradisi, dan ikatan yang terjalin saat makan bersama. Helai ini menjadi pengingat akan ritual sakral dan makna budaya yang melekat pada makanan, di mana setiap hidangan yang disiapkan dan disajikan membawa keluarga lebih dekat.

Di Isasai, kami menampilkan helai ini bukan hanya sebagai alat dapur, tetapi sebagai simbol warisan budaya—cara untuk menghargai pengetahuan dan ketelatenan yang dituangkan dalam menciptakan benda-benda ini. Saat Anda menikmati hidangan Anda, luangkan waktu sejenak untuk merenungkan cerita yang dibawa oleh setiap helai, serta kemurahan alam yang memungkinkan tradisi ini terus hidup dan berkembang.